Senin, 31 Mei 2010

Jariologi

sekuat apapun tangan, menjadi naif tanpa jari, dan kehilangan fungsi. tanpa jari, tangan hanyalahbongkah tongkat tanpa makna, dan menisbahkan kita pada ketakberdayaan. tanpa jari, kita kehilangan bahasa universal: ialah isyarat yang sarat makna.
'kami berlima seia sekata, seiya setidak. kami pun senantiasa siap melaksanakan sang empunya punya titah. kadang bekerja sendirian, dan kadang bekerja bersama sama. badanku pendek besar dengan ruas tak sempurna. tetapi tetap bangga sebagai ibu sebagai simbul keluhuran dan isyarat kebajikan. aku telunjuk memang kaku, lambang kekuasaan dan determinisme. meski majikan tak lagi punya kuasa, aku enjoy aja lagi., persetan dengan post power syndrome. aku paling tinggi di keluarga jari. ibarat gigi, kehadiranku melengkapi performa dan kinerja. bersama bunda sesekali bercanda dengan bocah ingusan: maen kelereng. aku yang paling manis diantara saudara saudaraku. menjadi simbul ikatan tunangan. meski tercekik tetap mengabdi. meski berada di paling tepi, aku tak tak termarjinalisasi. paling tidak itulah mimpi kaum pinggiran. kita senantiasa bersama dalam melaksakan perintah: memegang, memakan, memakai, membuang . bersatu padu dalam me merajut, menyusun, menabur. bahkan dalam .... mengepung menggempur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar